Kemarin adalah hari paling bersejarah.
108 tahun yang lalu, tepat pada tanggal 15 Juni daerah Kamang pernah bermandi
darah, yakni saat Perang Kamang terjadi.
Memang perang yang satu ini tidak
tercatat dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di bangku sekolah, tapi
semangat juang para pahlawan kita tak kalah membara dibanding pahlawan-pahlawan
lain yang memperjuangkan tanah air ini.
Khusus bagi kita penduduk Kamang
sendiri, tahukah kisah dari perang kamang itu sendiri? atau bagaimana perang
ini bisa terjadi? Jangan-jangan kita sama sekali tidak tahu karena menganggap
hal itu tidaklah penting untuk diketahui. Jangan-jangan ada yang sampai hati
berkata “Buat apa? Toh itu hanya masa lalu yang telah terjadi lebih dari
seratus tahun lalu”.
Lalu pernahkah kita sempat berfikir,
kira-kira kenapa ya orang-orang itu mau segitunya hingga rela mengorbankan
nyawa mereka? Apa yang sebenarnya mereka pertahankan?
Untuk itu ada baiknya kita simak cerita
mengenai Perang Kamang itu sendiri, agar kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran
dari kisah nyata ini, serta bisa menceritakan dan mengingatkan kepada anak cucu
mengenai betapa gigih perjuangan nenek moyang kita dan kekuatan hati mereka
untuk menentang Belanda yang bertindak seenaknya di negeri ini.
Oleh karena itu, berikut akan dipaparkan
kisah Perang Kamang yang saya ringkas dari buku “Bunga rampai perang kamang
1908” oleh tim penyusun yang diketuai oleh drs. Djazuli Dt.Gampo Marajo.
~~~
Pada pertengahan tahun 1908 terjadi
Perang Kamang yang menggemparkan seluruh Bukittinggi. Kamang adalah sebuah
daerah yang terletak kira-kira 16 Km dari Bukittinggi dan rakyat disana
berontak terhadap kekuasaan Belanda. Kerugian begitu besar diderita tentara
Belanda bersenjata senapan lengkap karena mereka disergap pada malam hari oleh
sekumpulan rakyat yang bertekad “Lebih baik mati berkalang tanah, daripada
hidup becermin bangkai”.
Penyulut pemberontakan ini adalah
peraturan Hindia Belanda yang mewajibkan rakyat Minangkabau membayar pajak
langsung (Blasting). Sebelum itu rakyat sudah dikenakan pajak tak langsung
dengan mengadakan perjanjian bahwa rakyat bersedia menanam kopi untuk
pemerintah Belanda sebagai pembalas jasa, tetapi rakyat menganggap ini sebagai
upaya untuk menundukkan rakyat kepada kekuasaan Belanda. “Orang Belanda yang
diterima dulu sebagai kawan, sekarang bersikap sebagai penjajah dan penindas”
Begitulah buah kata orang-orang dalam percakapan pada masa itu.
Nama-nama Para Syuhada Perang Kamang |
Cerita bermula saat Louis Constant
Westenenk, atau biasa disebut Siteneng (Plesetan lidah Minang atas namanya),
seorang pejabat kolonial Belanda yang ditempatkan sebagai kontrolir di onder
afdeling Agam Tua (setingkat Bupati), mengumpulkan kepala laras/lareh
(setingkat Camat) di bawah pimpinannya, yang dijabat oleh pribumi terkemuka.
Kurang lebih ada 8 laras yang dikumpulkan untuk rapat di Bukittinggi, salah
satunya kepala laras Kamang yaitu Garang Datuak Palindih. Dalam rapat
disampaikan bahwa para laras harus memaksa rakyat menerima putusan pemerintah
untuk memberikan pajak kepada Belanda.
Setelah pulang dari rapat,
masing-masing kepala laras menyampaikan hasil rapat kepada tokoh masyarakat di
laras mereka masing-masing. Di Laras Kamang sendiri, banyak yang mengambil
sikap untuk tidak membayar pajak dan tidak akan tunduk kepada peraturan
pemerintah. Semenjak saat itu, rapat-rapat seringkali digelar untuk membulatkan
suara rakyat, “Tidak akan membayar blasting dan tidak akan tunduk kepada
Belanda”
Diantara tokoh pemimpin perlawanan
rakyat yang terkenal diantaranya Haji Abdul Manan (Salah seorang ulama
terkemuka, Pimpinan di Kamang Mudiak), Datuak Rajo Pangulu (Pimpinan Kamang
hilir), Datuak Parpatiah (Magek), Haji Jabang (Pauah), Kari Mudo (Kemenakan
Laras Kamang), dll.
Pertemuan dan rapat yang sering digelar
oleh para pemimpin perlawanan tersebut akhirnya berujung satu keputusan :
“Perang dengan Belanda”.
Lambat laun apa yang dibicarakan dalam
rapat diketahui oleh Belanda. Belanda mulai khawatir hasutan-hasutan anti pajak
ini bisa meluas ke daerah lain. Hari ini mungkin anti pajak, besok bisa saja
meningkat jadi sikap anti Belanda atau tegasnya anti jajahan. Juga diketahui
bawa pembikinan senjata tajam, jimat kebal peluru dan kain-kain kafan untuk
mati jihad telah banyak dibagikan.
Memang saat itu bengkel-bengkel besi
sibuk membuat senjata tajam, latihan silat diadakan setiap malam. Sementara
rakyat dengan tegas mengancam akan membunuh kepala-kepala keluarga yang
membayar pajak. Jika seorang memulai, semua akan ikut membayar, karena pada
saat itu harta jarang sekali ada yang milik pribadi, semuanya milik
kelompok/kaum.
Hal ini sampai juga ke telinga
Westenenk, hingga akhirnya tidak ada lagi usaha mencegah, sekarang harus
menyerang. Westenenk pun sudah memutuskan untuk menghajar rakyat disana.
Senin Malam 15 juni, rencananya
Westenenk akan memberangkatkan serdadu-serdadunya dari Fort De Cock
(Bukittinggi), dan di Simpang Ampek Sungai Tuak pasukan dipecah, satu pasukan
menuju Magek untuk menankap Dt. Parpatiah, satu pasukan menuju Pakan Sinayan
menangkap Haji Abdul Manan, dan satu lagi ke Aia Tabik untuk menangkap Haji
Jabang di Pauah (Ceritanya Westenenk mau menangkap para pemimpin pemberontakan
di berbagai kampung). Sementara itu, bersiap pula pasukan rakyat untuk
menyambut kedatangan Belanda karena kedatangan Belanda tersebut telah bocor
kepada salah seorang pejuang, yakni Haji Mukmin.
Para pemimpin sudah berkumpul semenjak
hari Minggu sore untuk membahas taktik perang, dimana pasukan Westenk akan
dijepit dari segala jurusan dengan meletakkan pasukan-pasukan di tempat
pertahan yang sudah direncenakan. Taktik perang yang dipakai adalah perang
gerilya. Rakyat akan bersembunyi dalam semak-semak, rumpun padi, dan paya-paya
di tepi jalan raya. Kode disusun, mengingat peperangan akan dilakukan malam
hari, maka jika rakyat bertemu rakyat malam itu harus meneriakkan “hurdah” dan
dijawab dengan “roda”. Teriakan ooiii dan siulan panjang menanda kode perintah
mulai menyerang.
Alam Kamang waktu itu memungkinkan
berhasilnya taktik perang gerilya tersebut. Tepi-tepi jalan raya yang bersemak
dan berpaya serta rumpun padi yang sedang terbit menyukarkan musuh. Selesai
petunjuk diberikan, masing-masing pimpinan kembali ke tempat masing-masing
untuk mengatur pasukan mereka sesuai petunjuk yang diterima, kecuali Dt. Rajo
Pangulu, pimpinan pasukan Kamang Hilir beserta istrinya Siti Asiah. Mereka
bersama Haji Manan tetap di Kampuang Tangah untuk mengambil tindakan
sewaktu-waktu bila diperlukan. Sementara pasukan Kamang Hilir sebelumnya sudah
dipersiapkan di bawah pimpinan Kari Mudo sehingga cukup diutus kurir untuk
menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut kepada Kari Mudo.
Jam 11 malam, hari Senin, sampailah
induk pasukan tentara Belanda yang dipimpin Westenenk di Simpang Ampek Kampuang
Tangah. Pencarian berlangsung cukup lama karena Belanda terus dioper-oper
dengan alasan mungkin Hj.Manan di rumh istri beliau yang lain (sebab Hj.manan
beristri tiga) sehingga Belanda menggeledah rumah istri Haji Manan satu
persatu, padahal beliau sendiri berada di kampuang tangah, dan ini cukup untuk
mengulur waktu sehingga pasukan rakyat melakukan persiapan dengan maksimal.
Sementara itu di luar, pasukan gerilya bahkan ada yang sudah mencicil
pekerjaannya dengan menghabisi satu per satu pasukan Westenenk.
Pasukan gerilya yang semenjak tadi
memperhatikan musuh dari semak-semak tempat mereka bersembunyi langsung
menyerbu pasukan Westenenk yang dalam kebingungan dan tidak mengetahui darimana
datangnya penyerangan tak terduga itu, mereka menembak membabi buta tidak tau
arah tujuan, perang pun berkecamuk.
Dalam suasana yang demikian, Haji
Manan, Dt. Rajo Pangulu serta Siti Asiah ikut turun menyerang musuh ke
tengah-tengah pasukan Belanda, menebas ke kiri, menebas ke kanan. Di sana-sini
terdengar raung dan pekik orang terkena tebasan yang sangat mengerikan.
Pertarungan sengit tersebut berjalan kurang lebih 2 jam dengan
dahsyatnya, dimana masing-masing pihak mencari musuh dalam gelap gulita.
Pasukan pertama Belanda tersebut habis terbunuh, terkeculai Westenenk yang
berhasil lolos dan kabur ke Batusangkar melalui daerah Baso berkat bantuan
Angku suku Aia Tabik (Angku Suku Marah).
Setelah pertempuran pertama ini
selesai, suasana menjadi sepi. Para pemimpin kembali berkumpul untuk mengatur
siasat selanjutnya. Sementara itu 2 gelombang pasukan Westenenk yang sebelumnya
dipecah ke arah magek dapat menerobos pertahanan Dt.parpatiah Magek dan Dt.
Majo Indo Koto Tangah. Hal ini mengakibatkan pasukan Belanda yang dari
Magek dan Pauah berhasil mencapai Kampung Tangah di luar perhitungan para
pejuang.
Mengetahui pasukan Belanda yang dipecah
ke Pauah dan Magek sedang menuju Kampuang Tangah, maka pasukan Kamang Hilir
yang dipimpin oleh Kari Mudo pun datang memberikan pertolongan, namun pasukan
ini tiba-tiba dihujani oleh tembakan musuh di jalanan, lepas dari jembatan Koto
Panjang menuju Kampuang Tangah. Mereka sama sekali tidak mengira pasukan musuh
ternyata sudah ada di sekitar itu. Pasukan Kamang Hilir terkepung
dan hampir seluruhnya dihancurkan oleh Belanda.
Pertempuran kedua ini terjadi kira-kira
pukul 4.30 hingga menjelang fajar. Pada pertempuran kedua inilah para pejuang
banyak yang gugur, termasuk Hj.Abdul Manan (pimpinan dari Kamang Mudiak), Dt.Rajo
Pangulu (pimpinan Kamang Hilir) beserta istrinya Siti Asiah yang baru berumur
21 tahun dan belum dikaruniai anak. Selain siti Asiah, ada satu pejuang wanita
lagi yang ikut gugur dalam pertempuran, yaitu Siti Anisah.
Setelah pertempuran usai, fajar mulai
menyingsing, para pimpinan yang masih hidup berunding tentang langkah-langkah
selanjutnya. Di pihak rakyat gugur 71 orang, sedangkan di pihak Belanda hanya
sedikit yang bisa selamat dan kembali ke Bukittinggi. Maka dengan persetujuan
masing-masing pimpinan, jenazah Dt. Rajo Pangulu dan istrinya digotong oleh
pasukan Kari Mudo untuk dibawa ke Kamang Hilir berikut para syuhada Kamang
Hilir lainnya. Jenazah mereka dikumpulkan di Mesjid Taluak dan kemudian
dikebumikan di depan mesjid tersebut.
Para Syuhada Perang Kamang 1908 |
Selasa 16 juni 1908 adalah hari
berkabung bagi seluruh rakyat Kamang. Pagi hari selasa itu kelihatan orang
berbondong-bondong, ada yang meratap, ada yang menangis sambil berjalan mencari
keluarganya, ada yang kehilangan anak,ada yg kehilangan saudara atau suami.
Dari Simpang Pintu Koto sampai Kampuang Tangah menghitam orang tak
putus-putusnya. Mayat bergelimpangan di tengah jalan, di dalam banda (selokan)
di tengah sawah dan di dalam rumpun padi. Dengan hati sedih tiap-tiap orang
melalui tempat itu berjalan memperhatikan muka mayat yang gugur, kalau-kalau
ada keluarga yang dicari.
Di pihak lain, yaitu pihak Belanda dan
kaki tangannya terjadi pula kesibukan mengangkut mayat-mayat serdadu Belanda
yang tewas dalam pertempuran malam itu, evakuasi dipimpin oleh Tuanku Lareh
Tilatang. Kepala-kepala negri serta orang-orang yang membantu Belanda
mengerahkan orang rantai (orang hukuman yang dirantai kakinya) untuk mengangkut
mayat serdadu Belanda dengan pedati ke Bukit Tinggi. Menurut keterangan
penduduk lebih dari 18 pedati tolak, penuh dengan mayat yang ditarik oleh
orang-orang rantai di pagi-pagi buta sebelum orang-orang berduyun ke Kampuang
Tangah.
Dari laporan Westeanenk kepada Gubernur
Jendral, hanya 160 orang pasukan Belanda yang meninggal, namun menurt kabar
setempat dan taksiran yang dapat dipercaya, pasukan Belanda yang mati melebihi
angka 250 orang. Ini tidak mengherankan, selain hanya senjata tajam ditambah
jimat-jimat yang begitu laris waktu itu, cara rakyat menyerang (seperti ditulis
westenenk dalam laporannya) sama sekali bertentangan dengan teori perang
gerilya modern. Mereka menyerang tidak secara kilat di tempat-tempat tak
terduga, atau dalam klmpok-kelompok kecil. Sebaliknya, mereka menyerang
perlahan-lahan, berbondong-bondong di lapangan terbuka , dan hasilnya adalah
pembantaian menyedihkan.
Namun, yang patut kita salut terhadap
keberanian membabi buta mereka adalah semangat juang yang tinggi. Kisah pejuang
wanita mendapat tempat tersendiri. Siti Anisah yang berjuang dan ikut
gugur, rela meninggalkan anaknya yang masih kecil, kemudian keberanian Siti
Asiah menghajar Belanda dalam pertempuran. Walau dirinya masih muda dan catik
jelita tapi dia tidak mengenal takut sedikitpun, menyongsong ke tengah pasukan
musuh dengan rambut teruari panjang, dan selalu setia mendampingi suaminya yang
juga merupakan tokoh pimpinan perang karena tidak sampai hati melepas suaminya
berjuang sendiri melawan Belanda. Begitupula kepala laras Kamang, Dt. Palindih.
Jarang ada kepala laras terang-tersangan memihak rakyat dengan segala resiko.
Dia lebih memperhatikan apa yang terkandung dalam hati sanubari rakyat
ketimbang mempertahankan pangkat tinggi terhormat.
~Sehidup Semati~ Kuburan Dt. Rajo Pangulu (Pemimpin perang di Kamang Hilir) dan istrinya Siti Asiah |
Selepas perang di Bukittinggi keadaan
sungguh mencekam, tentara patroli dimana-mana, siang malam, menanggalkan
pakaian dinaspun tak ada waktu. Pasar sepi, lapau tutup,anak-anak takut ke
sekolah. Kendaraan umum tidak kelihatan. Pedati-pedati pengangkut bahan makanan
tidak datang, gedung-gedung penting pemerintah dijaga ketat. Hubungan kawat
Padang-Padang Panjang putus, juga telfon Padang Panjang-batusangkar. Ada juga
jalan kereta api yang dirusak.
Suasana takut semakin bertambah sewaktu
terdengar kabar lebih kurang 5 Km dari Bukittinggi penduduk siap untuk menyerang
kota Bukittinggi sebagai balas dendam atas Kamang. Itu sebabnya jalan ke
Bukittinggi ditutup. Rumah-rumah digeledah, tentara mencari pemimpin rakyat
yang diduga bersembunyi. Tidak kurang dari 4 brigade terus menerus patroli di
Kamang setelah pertempuran. Gubernur memperketat lagi larangan membuat dan
dagang senjata tajam, semua bengkel besi dijaga ketat, namun pamflet-pamflet
anti pajak, perang sabil dan mati syahid tetap beredar.
Penangkapan-penangkapan pihak yang
terlibat terus dilakukan pihak Belanda. Empat orang pimpinan pasukan dibuang
dan diasingkan ke daerah lain, termasuk di dalamnya Dt. Palindih (Laras Kamang)
dan Kari Mudo, 6 orang dihukum ke Padang, 6 orang dapat meloloskan diri dari
tangkapan Belanda, serta terdapat 20 pejuang hidup yang cacat akibat perang.
~~~
Begitulah pendirian orang Kamang saat
itu dalam memegang Syari’at dan Adat, berani berjuang di jalan yang benar.
Tidak menghambakan diri dan tidak mau tunduk kepada sesama makhluk, tapi hanya
mau menundukkan kepala dan patuh kepada Allah SWT. Suatu sikap yang harus
menjadi panutan bagi generasi sekarang.
Keempat patung pahlawan yang setia
berdiri di simpang pintu koto juga seolah ingin selalu mengingatkan kepada
kita “Contohlah perjuangan kami nak, tiada kami mau tunduk kepada siapapun kecuali
Allah, tiada kami takut kepada suatu apapun kecuali Allah, bahkan kematian
sekalipun berani kami hadapi”. Sungguh sebuah bentuk keteguhan hati yang sangat
luar biasa.