Tugu
Pahlawan Tak Dikenal terletak tepat di seberang Taman Monumen Bung
Hatta, di Jl. Jam Gadang Bukittinggi, Sumatera Barat. Perlu sedikit
berhati-hati ketika berjalan kaki menyeberangi Jalan Jam Gadang menuju Tugu Pahlawan Tak Dikenal karena lalu lintas kendaraan yang cukup ramai.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal dibangun di tengah sebuah bidang bundar yang
dihias tanaman, dengan ukiran wajah-wajah raksasa bertaring dengan mata
melotot yang dililit naga pada batang tugu yang mengerucut. Di puncaknya
berdiri patung pemuda memegang tongkat dengan gaya seorang konduktor.
Sebuah prasasti di samping Tugu Pahlawan Tak Dikenal.
Prasasti ini yang menceritakan bahwa tugu dibangun untuk mengenang
perlawanan para pahlawan yang namanya tak bisa dikenali, yang menjadi
korban dalam pergolakan yang terjadi pada Juni 1908 dalam menentang
diberlakukannya sistem pajak oleh Belanda yang diberlakukan sejak 1
Maret 1908, yang memberatkan rakyat.
Kutipan tulisan Muhammad Yamin yang berbunyi: “Pahlawan Tak Dikenal,
mati luhur tak terkubur, memutuskan jiwa meninggalkan nama, menjadi awan
di angkasa, menjadi buih di lautan, semerbak harumnya di udara”.
Relief raksasa pada batang Tugu Pahlawan Tak Dikenal tampaknya
dimaksudkan untuk menggambarkan wajah angkara murka kolonial Belanda
dalam menguras kekayaan negeri dan membebani pajak kepada rakyat.
Kepala ular naga yang tengah menggigit mulut raksasa berada di bagian
dasar Tugu Pahlawan Tak Dikenal. Relief perjuangan digambarkan pada
dinding-dinding Tugu Pahlawan Tak Dikenal ini.
Seorang wanita tengah berjalan melintas di depan Tugu Pahlawan Tak
Dikenal. Patung pemuda yang berdiri di puncak tugu itu rupanya
sebelumnya digambarkan tengah memegang bendera, namun diganti oleh
tongkat konduktor setelah patung aslinya tersambar petir.
Di sekeliling Tugu Pahlawan Tak Dikenal ini terdapat taman, dengan
tempat duduk yang bisa digunakan untuk bersantai. Pejalan juga bisa
sejenak beristirahat di sekitar Tugu Pahlawan Tak Dikenal seperti
seorang pengendara sepeda motor pada foto di atas.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal diciptakan oleh seniman Hoerijah Adam, yang
peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Jenderal AH Nasution pada 15
Juni 1963, dan diresmikan pada tahun 1965.
Sejarah
Pada sebuah prasasti di sekitar tugu yang ada saat ini tertera: tugu
ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang namanya tak
bisa dikenali, yang menjadi korban dalam pergolakan yang terjadi pada
Juni 1908 dalam menentang diberlakukannya sistem pajak oleh Belanda. Namun demikian, monumen ini sebetulnya dibangun sewaktu pemerintah Soekarno untuk memperingati kemenangan tentara pusat dalam menundukkan PRRI
di Minangkabau. PRRI merupakan sebuah gerakan yang menuntut adanya
otonomi daerah yang lebih luas. Namun, gerakan ini justru dianggap
sebagai sebuah pemberontakan oleh Soekarno sehingga diganjar dengan
serangkaian operasi militer (pengerahan pasukan militer sewaktu PRRI ini
merupakan yang terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia). Dengan demikian, menurut sejarawan Suryadi Sunuri,
monumen ini tak lain adalah "lambang penaklukan tentara pusat terhadap
orang Minang". Keberadaan monumen ini terus dipertahankan sampai
sekarang karena militer Indonesia memegang peran kuat di Sumatera Barat
setelah PRRI berakhir, "dan tentu saja selama Orde Baru, tidak ada yang berani mencongkel-congkel monumen ini, tempat dilekatkannya lambang supremasi (tentara) pusat di Minangkabau".
Monumen ini dibangun pada tahun 1959, sesudah Bukittinggi
diduduki pasukan Resimen Team Pertempuran (RTP) Brawijaya pada bulan
Mei 1958, dan diresmikan pada tahun 1965. Namun, catatan lain
menyebutkan, peletakan batu pertama monumen ini dilakukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada 15 Juni 1963.
Cukup mengherankan, monumen lambang penaklukan
tentara Pusat terhadap orang Minang (PRRI) itu tetap berdiri tegak
sampai kini, berbeda dengan monumen-monumen peninggalan Belanda di
Sumatera Barat yang umumnya diratatanahkan selepas Belanda hengkang dari
Ranah Minang/Indonesia. Ini jelas dimungkinkan oleh militer Indonesian
yang memegang peran makin kuat di Sumatera Barat setelah PRRI berakhir.
Dan tentu saja selama Zaman Orde Baru, tidak ada yang berani
mencongkel-congkel monumen ini, tempat dilekatkannya lambang supremasi
(tentara) pusat di Minangkabau.
Bukittinggi yang terkesan lengang dalam foto
ini mungkin juga merekam keadaan yang sebenarnya. Peristiwa PRRI, yang
dianggap oleh Jakarta sebagai ‘aksi makar’, telah menyibakkan orang
Minangkabau ber-dunsanak dan ber-ipa bisan. Banyak kampung jadi lengang bagai disemba garudo,
karena penduduknya lari ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Jawa, untuk
menghindari perang itu. (’Jika takut di ujung bedil, larilah ke
pangkalnya’). Selama perang (1958-1961) banyak orang lari dari
kampungnya, pergi ijok ke hutan-hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar