Prabowo Subianto (kita sebut saja sebagai
PS) lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau adalah mantan Danjen
Kopasus, Pengusaha sukses, Politisi dan
calon presiden 2014.
PS adalah putera dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro
Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo
yang merupakan anggota
BPUPKI dan juga merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya, tampak bahwa
PS
memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia, bahkan jauh sebelum
republik ini lahir. PS menikahi Titiek, puteri Presiden Soeharto.
Keputusan yang tampak prospektif saat itu, namun menjadi blunder dalam
hidupnya di kemudian hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual,
PS mewarisi kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat cerdas di sekolah
maupun di
AKABRI. Beliau adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa selulus SMA, PS juga diterima di Harvard University.
Karirnya di bidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karir militer PS termasuk yang tercepat dalam sejarah
ABRI. PS bahkan sempat disebut sebagai “
The Brightest Star”.
Dan dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun.
Sebagai sesama orang militer, PS bisa dianggap sebagai “antitesa” dari
SBY. Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di
satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh
ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya
ABRI.
Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam
mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan, PS cenderung cepat “Take
action”. Saat keputusan sudah dibuat, PS akan menjalankannya dengan
penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang
telah mencoreng nama baik & menjadi penyebab kehancuran karir
militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini
tidak pernah mengungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak
juga kepada PS yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya Wiranto
sengaja mengambil manfaat agar “prasangka publik” menghukum PS lebih
berat daripada dosanya. Meski PS bersikeras mengatakan tak pernah
perintahkan, namun beliau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya.
Saya ambil alih tanggung jawabnya
,
begitu kata beliau saat itu. Sikap yang harus dibayar mahal dengan
hancurnya karir militer yang gilang gemilang, namun juga menunjukkan
kualitas kepemimpinan PS.
Jika PS benar bersalah, mengapa korban-korban penculikan seperti Pius L. Lanang & Desmond J. Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?
Meski begitu, kualitas kepemimpinan PS justru sudah teruji di
saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka yang
lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, dan
selalu terkesan ragu-ragu, tampaknya PS adalah jawabannya. Bagi mereka
yang muak dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri saat ada
masalah, maka PS adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding
memilih mengorbankan anak buahnya, PS memilih untuk ambil alih tanggung
jawab & menanggung sendiri resikonya.
Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama selamatkan diri
saat kapal tenggelam, tapi justru yang terakhir. Sayang, karir militer
PS yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang
mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan. PS bisa dikatakan pihak
yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh
militer pada masa-masa kritis tahun 1998.
Berbicara tentang PS, kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei
1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya itu. Dan sebagai
pihak yang kalah, PS menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian
tersebut. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya.
Stigma sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai
senjata lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan PS. Jika memang benar
PS adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu, maka dia
sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan PS yang karir
gemilangnya di dunia militer yang begiitu dicintainya itu harus berhenti
dengan sejuta rasa malu dan aib.
Lalu bagaimana jika semua itu tidak benar? Layakkah PS
tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas layak pulakah bangsa
Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh putera terbaiknya,
hanya karena asumsi belaka?
Untuk dapat menilai PS secara lebih obyektif, maka kami akan bahas
kembali secara detail peristiwa yang terjadi di tahun 1998 itu. Kami
akan jelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa mei 1998 dari
sudut pandang yang berbeda dari pemahaman umum selama ini.
Jauh sebelum peristiwa Mei ’98, proses penghancuran nama baik PS
sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara Prabowo &
Wiranto. Ketidak-harmonisan PS dan Wiranto memang sudah berlangsung
sejak lama. Mungkin karena background keduanya yang jauh berbeda. PS
yang kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka sementara
Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup.
Namun PS yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak
menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa & tidak dijadikan
personal. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat ‘Jawa
Tradisional’ itu, dia lebih mirip dengan Soeharto dalam menyikapi suatu
rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang
mengganggu karir militernya di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di
penjara.
Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya beliau sebagai Pangab dalam acara serah terima
Pangkostrad
Letjend. Soegiono kepada PS. Begitu juga saat pemberhentian secara
hormat PS sebagai perwira militer, beliau mencopot tanda-tanda pangkat
PS dengan satu tangan saja. Proses berakhir secara paksanya karir
militer PS memang tidak bisa dilepaskan dari rivalitas perwira muda dan
perwira tua. PS sebagai representasi perwira muda tentu saja menjadi
sasaran tembak utama saat itu. Posisi PS saat itu benar-benar terjepit.
Di satu sisi, dia adalah menantu penguasa yang sedang menjadi sasaran
sentimen negatif rakyat. Di sisi lain, akibat manuver Wiranto cs,
Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya sampai ke
ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya (yaitu Habibie), beliau
menyampaikan pesan khusus untuk “mengamankan” PS.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Semua tidak terlepas dari peristiwa Mei yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini masih menghantui republik ini.
Sesungguhnya ada 3 tuduhan utama yang diarahkan kepada PS:
- Penculikan aktivis,
- Penembakan mahasiswa Trisakti, dan
- Dalang kerusuhan Mei 1998.
Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya
PS bersalah, bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai
Panglima, beliau yang seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa
hingga saat ini PS tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP sehingga tidak bisa membela diri? Mengenai penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying time’ dengan tidak mengusut kasus ini secara cepat?
Akibatnya, tuduhan kembali ke PS yang jadi bulan-bulanan opini
publik, dicurigai sebagai orang di balik penembakan itu. Meski banyak
sekali keanehan terhadap tuduhan ini, namun fitnah sudah mencapai
sasaran, dan sekali lagi PS terlanjur menjadi pesakitannya. Tuduhan
mengarahkan Prabowo di balik penembakan, dengan konspirasi anggota
kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku penembakan
snipper. Teori konspirasi ini tak pernah terbukti karena peluru
snipper diatas 7 mm & proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara random. Kalau
snipper akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan.
Lima hari setelah insiden Trisakti, PS datang ke rumah Herry
Hartanto. Di bawah Al Qur’an dia bersumpah. Di depan Syahrir Mulyo Utomo
orang tua korban;
Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa
.
Perihal keterlibatan PS atas penembakan mahasiswa Trisakti, tanggal
14 terjadi pertemuan di Makostrad atas inisiatif Setiawan Djodi.
Pertemuan antara PS & tokoh masyarakat antara lain; Adnan Buyung
Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto (sekarang
pimpinan KPK). Dalam pertemuan itu PS ditanya tentang keterlibatannya,
dia menjawab:
Demi Allah saya tidak terlibat, saya di set-up
. Menurut Buyung terlihat jujur.
Peristiwa selanjutnya semakin memperkuat ketidakterlibatan PS atas peristiwa penembakan mahasiswa tersebut. Dan Puspom
ABRI
Sjamsu Djalal menghadapi kesulitan memaksa Kapolri Dibyo Widodo untuk
menyerahkan anggotanya yang dicurigai terlibat. Di sinilah peran Wiranto
terlihat. 17 hari setelah insiden itu berlalu, barulah Wiranto
memanggil Dibyo dan memerintahkan untuk serahkan anggota. Itu pun
anggota diserahkan ke Polda, bukan ke POM
ABRI, padahal Polri saat itu masih menjadi bagian
ABRI
dan Pangabnya adalah Wiranto. Sementara senjata sebagai barang bukti
baru diserahkan tgl 19 Juni 98, hampir satu bulan sejak peristiwa
terjadi. Lalu pada tahun 2000, uji balistik di Belfast, Irlandia
membuktikan bahwa peluru berasal dari
anggota Polri unit Gegana.
Siapa sesungguhnya di balik peristiwa itu? Siapa yang
memberi perintah? Jelas bukan PS yang sebagai Pangkostrad tidak punya
jalur komando ke Polri. Bagaimana dengan tuduhan PS sebagai otak di
balik kerusuhan Mei ’98? Benarkah dia yang bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut? Atau kembali lagi beliau dikorbankan akibat proses
perebutan kekuasaan terselubung di antara para elit militer saat itu?
Apakah benar kerusuhan tersebut terjadi karena spontanitas atau ‘crime
by omission’ (kejahatan karena pembiaran) atau bahkan ‘terror by
design’?
Mari kita kembali ke jaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk
mencari kebenaran sejarah kita butuh ‘mesin waktu’. Kita juga
membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup bahkan
sedang berkuasa. Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran SBY dalam
proses pergantian kekuasaan saat itu, padahal beliau juga cukup
berperan. Nanti akan kita bahas.
Kembali ke bulan Mei ’98, sebagaimana menjadi kepercayaan umum bahwa
penembakan mahasiswa Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan
besar-besaran. Benarkahkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa
kerusuhan Mei ’98 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat
peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya
pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara
jernih bukti-bukti yang ada.
Satu peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Wiranto pada
peristiwa tersebut adalah kepergiannya ke Malang saat Ibukota sedang
genting-gentingnya. Sebab Wiranto sudah tahu akan ada kerusuhan di
Ibukota, tapi tetap bersikukuh untuk pergi ke Malang. Acara di Malang
adalah serah terima PPRC dari Divisi I ke Divisi II, di mana Wiranto
menjadi Inspektur upacaranya. Sebenarnya itu adalah acara rutin yang
bisa diwakilkan. Bayangkan, untuk serah terima Pangkostrad saja dia bisa
berhalangan hadir. Bagaimana mungkin dalam kondisi Ibukota genting, dia
sebagai pemegang kunci komando lebih memilih jadi Inspektur upacara
acara seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa diterima akal sehat!
Apalagi mengingat tanggal 13 Mei malam Wiranto memimpin rapat
Garnisun Jakarta untuk menanyakan situasi terakhir. Lebih mencurigakan
lagi bahwa sesungguhnya Kasum
TNI
Fahrur Razi saat itu sudah ditunjuk Pangkostrad PS menjadi Inspektur
upacara di Malang. Tetapi sekonyong-konyong diambil alih oleh Wiranto.
Suatu kebetulan atau kesengajaan?
Mungkinkah Wiranto sebagai
Pangab
tidak tahu menahu kondisi Jakarta? Dalam kondisi Ibukota terjadi
kerusuhan, Wiranto malah pergi ke Malang dengan mengajak
komandan-komandan seperti Danjen kopasus, komandan Marinir, dan
lain-lain.
Lebih mencurigakan lagi, sesungguhnya PS sudah berulang kali
menghubungi Wiranto untuk membatalkan kepergiannya. Wiranto menjawab “
Show must goon”.
Ini mirip dengan Soeharto saat tahu akan gerakan 30 September, namun
sengaja tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya. Sebelumnya,
saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998, Panglima
TNI Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes
ABRI, Pangkostrad PS kemudian membantu pengamanan Ibukota.
Pangkostrad PS kemudian membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan
pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar dan Malang untuk bantu Kodam.
Tapi sekali lagi Wiranto tidak mau memberi bantuan pesawat hercules
sehingga PS men
carter sendiri pesawat garuda dan mandala.
Seharusnya jika negara dalam keadaan genting seperti itu, Panglima wajib
mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tapi
yang terjadi justru tidak terlihat sedikitpun itikad baik Wiranto untuk
mencegah terjadinya
chaos yang menelan korban hingga ribuan
orang tersebut. Anehnya justru belakangan kubu Wiranto yang melemparkan
kesalahan kepada PS yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu.
Bukankah Wiranto sudah menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei untuk menanyakan situasi terakhir?
Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai ketua Badan Intelijen
ABRI tidak pernah mengingatkan Wiranto akan ada kerusuhan?
Bukankah PS sendiri sudah mengingatkan Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang?
Mengapa Wiranto tidak bergeming?
Lantas apa sebenarnya tujuan Wiranto membentuk Pam Swakarsa?
Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan
sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Namun belakangan
dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut
kerusuhan Mei tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei terjadi, mantan
Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Wiranto
untuk membentuk Pam Swakarsa.
Mengapa Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules PS
sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa
saat PS mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan
‘sistematis’ toko-toko, justru Panglima TNI
melalui Kasum Fahrur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk
membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap
saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tak kunjung
datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan
nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi
dibumihanguskan!
Bukti lain semakin mengarah kepada Wiranto sebagai dalang sesungguhnya dari kerusuhan Mei ’98 dari pengakuan mantan Ka Puspom
ABRI
Sjamsu Djalal. Melihat kondisi Ibukota yang makin tidak terkendali,
beliau menyarankan untuk memberlakukan jam malam, namun Wiranto tidak
bergeming. Artinya ada lebih dari satu orang yang memberi peringatan
kepada Wiranto saat itu, Jadi keputusannya berangkat ke Malang adalah
bagian dari ‘rencana’. Makin terkuak di sini bahwa PS yang justru
berupaya mengamankan situasi malah dijadikan kambing hitam sebagai
pelaku kudeta.
Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei itu
murni spontanitas warga atau karena rekayasa dalam kaitan perebutan
kekuasaan saat itu?
Mengenai pembentukan Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi
testimoni bahwa itu adalah bentukan Wiranto, dia yang ditugasi. Perintah
pembentukan Pam Swakarsa diberikan oleh Wiranto. Dia memanggil Kivlan
Zein untuk meminta dana dari Setiawan Djodi. Pertemuan ini diatur oleh
Jimmly Asshidiqie. Dalam pertemuan tersebut, Wiranto mengatakan ini
perintah Habibie. Jimmly akrab dengan Habibie dalam
ICMI.
Kerusuhan yang terjadi karena spontanitas biasanya meluas dengan
menjalar, tidak serempak dimulai di seluruh penjuru kota dalam waktu
yang bersamaan. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima akal sehat
adalah bahwa kerusuhan itu terjadi ‘
by design’ dimulai berdasarkan komando pihak-pihak tertentu.
Mengapa pada pagi hari tanggal 14 Mei ada pasukan dari Solo diterbangkan ke Jakarta dan mendarat di Halim?
Di saat yang sama, kerusuhan terjadi bersamaan antara
Jakarta dan Solo. Semua terjadi pada pagi hari di waktu yang persis
bersamaan, tidak ada jeda. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa kerusuhan di
kedua kota ini sudah direncanakan matang sebelumnya dan di bawah
komando yang sama. Di saat massa mulai menjarah di Jakarta, di saat yang
sama kejadian serupa terjadi di Solo. Modusnya sama persis!
Jika kerusuhan itu spontanitas, mengapa dimulai secara serempak di berbagai penjuru Jakarta sekaligus Solo?
Di salah satu pertokoan, ada kesaksian seorang ibu yang mencari
anaknya yang ikut masuk ke Jogja Plaza karena disuruh seseorang. Tapi
dilantai 2 ditampar & disuruh keluar dan akhirnya keluar sebelum
pintu ditutup dari luar? Kita tahu akhirnya Jogja Plaza dibakar.
Siapakah mereka itu?
Mungkinkah mahasiswa atau penduduk urban sengaja memasukkan massa ke dalam gedung lalu membakarnya dari luar?
Atau ada pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi
chaos yang memungkinkan pihak-pihak tertentu ambil peranan?
Sebagaimana yang kita ketahui selanjutnya, kondisi
chaos itu sendiri akhirnya mempercepat proses jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan.
Lalu siapakah yang diuntungkan dari jatuhnya Soeharto?
Apakah Wiranto cs atau PS? Yang jelas sesaat setelah lengsernya
Soeharto, Wiranto sebagai Pangab dengan mudahnya menghancurkan karir militer PS.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada aktivis mahasiswa 98’,
kami harus sampaikan bahwa sesungguhnya kejatuhan Soeharto bukan karena
demo. Tetapi lebih karena pengkhianatan para elit, baik sipil maupun
militer yang mana mereka sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto
sendiri. Peristiwa jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya itu sendiri lebih
tepat dikatakan hasil dari sebuah kudeta halus (
soft coup), yang memanfaatkam demonstrasi mahasiswa yang merebak di mana-mana sebagai ‘
trigger’nya.
Rupanya dalam suasana genting jatuhnya kekuasan Soeharto itu diwarnai
pula oleh rivalitas yang muncul ke permukaan di antara para perwira
ABRI. Akibat lemahnya kepemimpinan Wiranto sebagai
Pangab
ditambah suasana yang tidak menentu, masing-masing perwira berusaha
cari manfaat atas situasi tersebut. Para perwira berusaha ‘berinvestasi’
pada masa depan masing-masing, setidaknya mengamankan posisi mereka
masing-masing. Pada saat itu terlihat jelas di tubuh ABRI sendiri tidak
solid di bawah satu komando. Masing-masing punya agenda sendiri-sendiri
dan saling curiga satu sama lain.
Salah satu contohnya adalah adanya siaran pers dari
Puspen
ABRI menjelang berakhirnya kekuasaan Soeharto. Siaran pers yang walau
dibantah langsung oleh Wiranto namun turut mempercepat proses lengsernya
Soeharto. Di mana salah satu isi dari rilis tersebut adalah dukungan
terhadap sikap PBNU yang mendukung Presiden Soeharto lengser keprabon.
Sebenarnya itu bukan merupakan rilis resmi ABRI karena tidak pakai kop
surat dan tidak ditanda tangani. Menurut Makodongan, siaran pers
dukungan terhadap sikap PBNU itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol saat
itu, SBY !
Meski tengah malam itu juga Wiranto membangunkan seluruh perwira
untuk menarik rilis itu dari seluruh media massa agar tidak diterbitkan.
Namun sudah terlanjur beredar & Soeharto yang tahu tentang ini
semakin kehilangan perspektif terhadap kondisi lapangan, terutama
mengenai dukungan ABRI. Kejadian ini semakin memperburuk hubungan PS dan
Wiranto karena dia menganggap Prabowolah yang mengadukan ini ke
Presiden.
Tanggal 18 Mei, Harmoko yang selalu menjilat Soeharto akhirnya
menjadi Brutus dengan meminta beliau secara arif dan bijaksana untuk
mundur. Sikap Harmoko ini cukup mengejutkan mengingat keberadaannya
sebagai Ketua
DPR/
MPR
adalah semata-mata untuk mengamankan kekuasaan Soeharto. Sebelumnya dia
selalu langganan dipilih sebagai menteri oleh Soeharto. Bisa dikatakan
dia memperoleh segala-galanya karena Soeharto. Namun karena desakan
mahasiswa & tokoh masyarakat akhirnya dia memilih untuk
menyelamatkan diri sendiri. Namun begitu pernyataan pimpinan DPR/MPR itu
disambut gegap gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR &
masyarakat seluruh Indonesia, tapi kegembiraan itu tidak berlangsung
lama karena pukul 23.00 Wiranto menyampaikan bahwa ABRI menolak
pernyataan Harmoko itu.
Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan kekuasaannya,
sebenarnya Pak Harto sudah berniat mundur dari jabatannya. Namun dia
ingin memastikan pasca mundurnya dia sebagai Presiden tidak ada
chaos yang membuka peluang bagi militer untuk berkuasa.
Tanggal 19 Mei, dibuatlah pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat
seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, dll minus Amien
Rais. Dalam pertemuan tersebut, Soeharto menyatakan akan membentuk
Kabinet Reformasi yang akan menyiapkan pemilu. Sementara itu menjelang
rencana Amien Rais yang akan mengumpulkan massa di Monas tanggal 19 Mei,
Wiranto adakan rapat di Mabes. Dalam rapat yang dihadiri para perwira
tinggi militer itu, kembali muncul perbedaan antara PS dan Wiranto.
Dalam rapat itu Wiranto mengatakan bahwa perintah yang dibuat adalah
mencegah masuknya pendemo dengan segala cara (
at all cost).
PS bertanya berulang-ulang apa maksud perintah itu?
Apakah akan digunakan peluru tajam?
Tidak dijawab dengan jelas oleh Wiranto.
Kivlan Zein menggelar tank dan panser dengan perintah “lindas saja
mereka yang memaksa masuk Monas!”. Kivlan Zein meminta PS agar Amien
Rais membatalkan rencana demo sejuta umat di Monas.
Daripada saya dimusuhi umat Islam, lebih baik saya tangkap Amien Rais
, kata Kivlan. Akhirnya Amien Rais batalkan rencana demo di Monas.
Saat menghadapi Habibie PS berkata,
Pak, Bapak sepuh mungkin akan lengser. Siapkah anda menggantikannya?
Selanjutnya PS meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat
bahwa Prabowo merasa tidak punya masalah dengan Habibie. Dan jika kita
baca ulang berita-berita media jauh sebelumnya, juga tampak jelas
hubungan kedua tokoh ini sangat akrab. Berulang kali PS menyampaikan
kekagumannya pada Habibie, begitu juga sebaliknya.
PS yang berhasil meredakan situasi merasa akan dapat
pujian. Maka datanglah ia ke Cendana. Tapi lacur, di situ sudah ada
kelompok Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Soeharto dan
putera-puterinya. Rupanya di situ Wiranto ‘mengadukan’ tentang manuver
PS yang mengindikasikan dia runtang runtung dengan Habibie dan para
aktivis. Saat dia tiba, Mamiek langsung menghardik PS dengan kasar
sambil mengacungkan telunjuk hanya satu inci dari hidung muka PS sambil
berkata: Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!
. PS keluar menunggu sambil bilang, Saya butuh penjelasan
. Titiek istrinya hanya bisa menangis, lalu dia pulang.
Saat itu sesungguhnya PS sudah dikalahkan, kalah oleh
lobby
dan pendekatan Wiranto yang meyakinkan. Dalam kondisi gamang seperti itu
memang Soeharto sangat rentan menerima informasi yang dipelintir. Hal
yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini Wiranto sendiri
mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari dirinya.
Sementara itu Habibie yang merasa terancam dengan rencana pembentukan
Kabinet Reformasi mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 menteri
Ekuin
di bawah Ginandjar Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi
bagian dari Kabinet Reformasi. Soeharto merasa benar-benar terpukul
atas kejadian terakhir ini karena merasa ditinggalkan. Apalagi di antara
mereka ada yang dianggap sebagai orang-orang yang dia ‘selamatkan’.
Malam itu Soeharto terlihat gugup & bimbang. Suatu kejadian langka.
Namun di saat-saat penuh kekecewaan itu, hadir sahabat-sahabat sejati
yang menunjukkan kesetiaannya. Malam itu hadir di cendana para mantan
wapres menyampaikan dukungannya, yaitu: Umar Wirahadikusuma, Sudharmono,
Try Sutrisno.
Pukul 23.00 Soeharto memanggil PS, Saadilah Mursyid dan Wiranto.
Beliau menyampaikan bahwa besok akan serahkan kekuasaan pada Habibie.
Esok paginya, Harmoko, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, Ismail
Hasan Metareum menemui Soeharto di ruang Jepara.
Ada dokumen lain lagi?
Tidak Pak”, jawab Harmoko
.
Baik kalian tunggu saja di sini, saya akan laksanakan pasal 8 UUD 45
.
Di Credential Room Soeharto bertemu Habibie tapi dia melengos. Soeharto
sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan
pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Habibie & kembali ke ruang
Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata,
Saya sudah bukan Presiden lagi
.
Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo.
Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat
kritis menjelang ajalnya pun, Habibie dilarang menemui Soeharto.
Hubungan Soeharto & Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang
berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie
sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal,
Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah
Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya, Soeharto
tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan & rasa sayangnya terhadap
Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di
Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. bagaimana
demi kedudukan, hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu
dikorbankan
Pukul 23 malam PS dan Muhdi bertemu dengan Habibie di kediamannya
untuk memberi dukungan pada Presiden baru. Namun keesokannya pada
tanggal 22 Mei, selesai Shalat Jumat PS mendapat kabar mengejutkan,
bagai petir di siang bolong. PS di
Makostrad
ditelpon oleh Mabes AD, diminta menanggalkan benderanya. Perintah itu
tak lain artinya bahwa jabatannya dicopot. PS ingat perkataan Habibie
jauh sebelumnya,
Prabowo, kapan pun kamu ragu temui saya, jangan pikirkan protokoler!
Maka PS menemui Habibie yang sudah menjadi Presiden dan berkata:
Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya
.
Habibie menjelaskan kalau dia mendapatkan laporan dari
Pangab bahwa ada gerakan pasukan
Kostrad menuju Jakarta, kuningan dan istana. PS minta setidaknya 3 bulan di Kostrad. Habibie menolak,
Tidak, sampai matahari terbenam Anda harus menyerahkan semua pasukan!
Dari sini kembali terlihat, untuk kedua kalinya PS dikalahkan oleh
lobby
& pendekatan Wiranto. Kelak, Wiranto sendiri mengakui bahwa ada
kemungkinan informasi yang diberikan diterima secara salah oleh Habibie.
Namun kesalahpahaman apapun itu, PS sudah terlanjur menjadi pihak yang
dirugikan. Hancurnya karir militer yang begitu gilang gemilang. Kita
tidak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie sama-sama salah
mengartikan informasi yang disampaikan Wiranto. Atau memang ada
kesengajaan melakukan misinformasi terhadap PS mengingat persaingan
internal ABRI saat itu.
Semoga menambah wawasan & jadi pelajaran bagi kita semua.
Semoga bisa cukup menyadarkan kita untuk tidak terlalu mudah percaya pada pandangan umum & selalu bersikap kritis | END
Sumber:
https://www.facebook.com/groups/bang.ardhi.for.president2014/doc/510216585696383/
http://mugiyonobk.multiply.com/reviews/item/13
http://mugiyonobk.multiply.com/reviews/item/4