Sang Thothon

Kamis, 16 Juni 2016

PERANG KAMANG: Nenek Moyang Kami Para Pahlawan

Tugu Perang Kamang di Simpang Pintu Koto
Kemarin adalah hari paling bersejarah. 108 tahun yang lalu, tepat pada tanggal 15 Juni daerah Kamang pernah bermandi darah, yakni saat Perang Kamang terjadi.
Memang perang yang satu ini tidak tercatat dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di bangku sekolah, tapi semangat juang para pahlawan kita tak kalah membara dibanding pahlawan-pahlawan lain yang memperjuangkan  tanah air ini.
Khusus bagi kita penduduk Kamang sendiri, tahukah kisah dari perang kamang itu sendiri? atau bagaimana perang ini bisa terjadi? Jangan-jangan kita sama sekali tidak tahu karena menganggap hal itu tidaklah penting untuk diketahui. Jangan-jangan ada yang sampai hati berkata “Buat apa? Toh itu hanya masa lalu yang telah terjadi lebih dari seratus tahun lalu”.
Lalu pernahkah kita sempat berfikir, kira-kira kenapa ya orang-orang itu mau segitunya hingga rela mengorbankan nyawa mereka? Apa yang sebenarnya mereka pertahankan?
Untuk itu ada baiknya kita simak cerita mengenai Perang Kamang itu sendiri, agar kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah nyata ini, serta bisa menceritakan dan mengingatkan kepada anak cucu mengenai betapa gigih perjuangan nenek moyang kita dan kekuatan hati mereka untuk menentang Belanda yang bertindak seenaknya di negeri ini.
Oleh karena itu, berikut akan dipaparkan kisah Perang Kamang yang saya ringkas dari buku “Bunga rampai perang kamang 1908” oleh tim penyusun yang diketuai oleh drs. Djazuli Dt.Gampo Marajo.
~~~
Pada pertengahan tahun 1908 terjadi Perang Kamang yang menggemparkan seluruh Bukittinggi. Kamang adalah sebuah daerah yang terletak kira-kira 16 Km dari Bukittinggi dan rakyat disana berontak terhadap kekuasaan Belanda. Kerugian begitu besar diderita tentara Belanda bersenjata senapan lengkap karena mereka disergap pada malam hari oleh sekumpulan rakyat yang bertekad “Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup becermin bangkai”.
Penyulut pemberontakan ini adalah peraturan Hindia Belanda yang mewajibkan rakyat Minangkabau membayar pajak langsung (Blasting). Sebelum itu rakyat sudah dikenakan pajak tak langsung dengan mengadakan perjanjian bahwa rakyat bersedia menanam kopi untuk pemerintah Belanda sebagai pembalas jasa, tetapi rakyat menganggap ini sebagai upaya untuk menundukkan rakyat kepada kekuasaan Belanda. “Orang Belanda yang diterima dulu sebagai kawan, sekarang bersikap sebagai penjajah dan penindas” Begitulah buah kata orang-orang dalam percakapan pada masa itu.
Nama-nama Para Syuhada Perang Kamang
Cerita bermula saat Louis Constant Westenenk, atau biasa disebut Siteneng (Plesetan lidah Minang atas namanya), seorang pejabat kolonial Belanda yang ditempatkan sebagai kontrolir di onder afdeling Agam Tua (setingkat Bupati), mengumpulkan kepala laras/lareh (setingkat Camat) di bawah pimpinannya, yang dijabat oleh pribumi terkemuka. Kurang lebih ada 8 laras yang dikumpulkan untuk rapat di Bukittinggi, salah satunya kepala laras Kamang yaitu Garang Datuak Palindih. Dalam rapat disampaikan bahwa para laras harus memaksa rakyat menerima putusan pemerintah untuk memberikan pajak kepada Belanda.
Setelah pulang dari rapat, masing-masing kepala laras menyampaikan hasil rapat kepada tokoh masyarakat di laras mereka masing-masing. Di Laras Kamang sendiri, banyak yang mengambil sikap untuk tidak membayar pajak dan tidak akan tunduk kepada peraturan pemerintah. Semenjak saat itu, rapat-rapat seringkali digelar untuk membulatkan suara rakyat, “Tidak akan membayar blasting dan tidak akan tunduk kepada Belanda”
Diantara tokoh pemimpin perlawanan rakyat yang terkenal diantaranya Haji Abdul Manan (Salah seorang ulama terkemuka, Pimpinan di Kamang Mudiak), Datuak Rajo Pangulu (Pimpinan Kamang hilir), Datuak Parpatiah (Magek), Haji Jabang (Pauah), Kari Mudo (Kemenakan Laras Kamang), dll.
Pertemuan dan rapat yang sering digelar oleh para pemimpin perlawanan tersebut akhirnya berujung satu keputusan : “Perang dengan Belanda”.
Gerbang Makam Pahlawan dan Mushala Syuhada di Taluak. Dulunya Mushala ini adalah sebuah mesjid, namun akibat kebakaran, beberapa tahun kemudian mesjid tersebut dipindahkan ke Ampang yang sekarang lebih dikenal dengan Mesjid Wustha.
Lambat laun apa yang dibicarakan dalam rapat diketahui oleh Belanda. Belanda mulai khawatir hasutan-hasutan anti pajak ini bisa meluas ke daerah lain. Hari ini mungkin anti pajak, besok bisa saja meningkat jadi sikap anti Belanda atau tegasnya anti jajahan. Juga diketahui bawa pembikinan senjata tajam, jimat kebal peluru dan kain-kain kafan untuk mati jihad telah banyak dibagikan.
Memang saat itu bengkel-bengkel besi sibuk membuat senjata tajam, latihan silat diadakan setiap malam. Sementara rakyat dengan tegas mengancam akan membunuh kepala-kepala keluarga yang membayar pajak. Jika seorang memulai, semua akan ikut membayar, karena pada saat itu harta jarang sekali ada yang milik pribadi, semuanya milik kelompok/kaum.
Hal ini sampai juga ke telinga Westenenk, hingga akhirnya tidak ada lagi usaha mencegah, sekarang harus menyerang. Westenenk pun sudah memutuskan untuk menghajar rakyat disana.
Senin Malam 15 juni, rencananya Westenenk akan memberangkatkan serdadu-serdadunya dari Fort De Cock (Bukittinggi), dan di Simpang Ampek Sungai Tuak pasukan dipecah, satu pasukan menuju Magek untuk menankap Dt. Parpatiah, satu pasukan menuju Pakan Sinayan menangkap Haji Abdul Manan, dan satu lagi ke Aia Tabik untuk menangkap Haji Jabang di Pauah (Ceritanya Westenenk mau menangkap para pemimpin pemberontakan di berbagai kampung). Sementara itu, bersiap pula pasukan rakyat untuk menyambut kedatangan Belanda karena kedatangan Belanda tersebut telah bocor kepada salah seorang pejuang, yakni Haji Mukmin.
Para pemimpin sudah berkumpul semenjak hari Minggu sore untuk membahas taktik perang, dimana pasukan Westenk akan dijepit dari segala jurusan dengan meletakkan pasukan-pasukan di tempat pertahan yang sudah direncenakan. Taktik perang yang dipakai adalah perang gerilya. Rakyat akan bersembunyi dalam semak-semak, rumpun padi, dan paya-paya di tepi jalan raya. Kode disusun, mengingat peperangan akan dilakukan malam hari, maka jika rakyat bertemu rakyat malam itu harus meneriakkan “hurdah” dan dijawab dengan “roda”. Teriakan ooiii dan siulan panjang menanda kode perintah mulai menyerang.
Alam Kamang waktu itu memungkinkan berhasilnya taktik perang gerilya tersebut. Tepi-tepi jalan raya yang bersemak dan berpaya serta rumpun padi yang sedang terbit menyukarkan musuh. Selesai petunjuk diberikan, masing-masing pimpinan kembali ke tempat masing-masing untuk mengatur pasukan mereka sesuai petunjuk yang diterima, kecuali Dt. Rajo Pangulu, pimpinan pasukan Kamang Hilir beserta istrinya Siti Asiah. Mereka bersama Haji Manan tetap di Kampuang Tangah untuk mengambil tindakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Sementara pasukan Kamang Hilir sebelumnya sudah dipersiapkan di bawah pimpinan Kari Mudo sehingga cukup diutus kurir untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut kepada Kari Mudo.
Jam 11 malam, hari Senin, sampailah induk pasukan tentara Belanda yang dipimpin Westenenk di Simpang Ampek Kampuang Tangah. Pencarian berlangsung cukup lama karena Belanda terus dioper-oper dengan alasan mungkin Hj.Manan di rumh istri beliau yang lain (sebab Hj.manan beristri tiga) sehingga Belanda menggeledah rumah istri Haji Manan satu persatu, padahal beliau sendiri berada di kampuang tangah, dan ini cukup untuk mengulur waktu sehingga pasukan rakyat melakukan persiapan dengan maksimal. Sementara itu di luar, pasukan gerilya bahkan ada yang sudah mencicil pekerjaannya dengan menghabisi satu per satu pasukan Westenenk.

Jam 2.30 tabuh mulai dipukul, beberapa saat kemudian bunyi tabuh bersahut sahutan di seluruh Kamang disambung lagi dengan tontong. Orang mulai berteriak “Belanda telah Masuk” dan dari jauh terdengar teriakan Allaahuakbar yang disusul dengan teriakan oiii dan siulan panjang. Mendengar suara itu Westenenk  sangat terkejut, pluit segera ditiup, disusul bunyi terompet pasukan Belanda.
Pasukan gerilya yang semenjak tadi memperhatikan musuh dari semak-semak tempat mereka bersembunyi langsung menyerbu pasukan Westenenk yang dalam kebingungan dan tidak mengetahui darimana datangnya penyerangan tak terduga itu, mereka menembak membabi buta tidak tau arah tujuan, perang pun berkecamuk.
Dalam suasana yang demikian, Haji Manan, Dt. Rajo Pangulu serta Siti Asiah ikut turun menyerang musuh ke tengah-tengah pasukan Belanda, menebas ke kiri, menebas ke kanan. Di sana-sini terdengar raung dan pekik orang terkena tebasan yang sangat mengerikan. Pertarungan sengit tersebut berjalan kurang lebih 2  jam dengan dahsyatnya, dimana masing-masing pihak mencari musuh dalam gelap gulita. Pasukan pertama Belanda tersebut habis terbunuh, terkeculai Westenenk yang berhasil lolos dan kabur ke Batusangkar melalui daerah Baso berkat bantuan Angku suku Aia Tabik (Angku Suku Marah).
Setelah pertempuran pertama ini selesai, suasana menjadi sepi. Para pemimpin kembali berkumpul untuk mengatur siasat selanjutnya. Sementara itu 2 gelombang pasukan Westenenk yang sebelumnya dipecah ke arah magek dapat menerobos pertahanan Dt.parpatiah Magek dan Dt. Majo Indo Koto Tangah. Hal ini mengakibatkan pasukan Belanda  yang dari Magek dan Pauah berhasil mencapai Kampung Tangah di luar perhitungan para pejuang.
Mengetahui pasukan Belanda yang dipecah ke Pauah dan Magek sedang menuju Kampuang Tangah, maka pasukan Kamang Hilir yang dipimpin oleh Kari Mudo pun datang memberikan pertolongan, namun pasukan ini tiba-tiba dihujani oleh tembakan musuh di jalanan, lepas dari jembatan Koto Panjang menuju Kampuang Tangah. Mereka sama sekali tidak mengira pasukan musuh ternyata sudah ada di sekitar itu. Pasukan Kamang Hilir  terkepung dan  hampir seluruhnya dihancurkan oleh Belanda.
Pertempuran kedua ini terjadi kira-kira pukul 4.30 hingga menjelang fajar. Pada pertempuran kedua inilah para pejuang banyak yang gugur, termasuk Hj.Abdul Manan (pimpinan dari Kamang Mudiak), Dt.Rajo Pangulu (pimpinan Kamang Hilir) beserta istrinya Siti Asiah yang baru berumur 21 tahun dan belum dikaruniai anak. Selain siti Asiah, ada satu pejuang wanita lagi yang ikut gugur dalam pertempuran, yaitu Siti Anisah.
Setelah pertempuran usai, fajar mulai menyingsing, para pimpinan yang masih hidup berunding tentang langkah-langkah selanjutnya. Di pihak rakyat gugur 71 orang, sedangkan di pihak Belanda hanya sedikit yang bisa selamat dan kembali ke Bukittinggi. Maka dengan persetujuan masing-masing pimpinan, jenazah Dt. Rajo Pangulu dan istrinya digotong oleh pasukan Kari Mudo untuk dibawa ke Kamang Hilir berikut para syuhada Kamang Hilir lainnya. Jenazah mereka dikumpulkan di Mesjid Taluak dan kemudian dikebumikan di depan mesjid tersebut.
Para Syuhada Perang Kamang 1908
Selasa 16 juni 1908 adalah hari berkabung bagi seluruh rakyat Kamang. Pagi hari selasa itu kelihatan orang berbondong-bondong, ada yang meratap, ada yang menangis sambil berjalan mencari keluarganya, ada yang kehilangan anak,ada yg kehilangan saudara atau suami. Dari Simpang Pintu Koto sampai Kampuang Tangah menghitam orang tak putus-putusnya. Mayat bergelimpangan di tengah jalan, di dalam banda (selokan) di tengah sawah dan di dalam rumpun padi. Dengan hati sedih tiap-tiap orang melalui tempat itu berjalan memperhatikan muka mayat yang gugur, kalau-kalau ada keluarga yang dicari.
Di pihak lain, yaitu pihak Belanda dan kaki tangannya terjadi pula kesibukan mengangkut mayat-mayat serdadu Belanda yang tewas dalam pertempuran malam itu, evakuasi dipimpin oleh Tuanku Lareh Tilatang. Kepala-kepala negri serta orang-orang yang membantu Belanda mengerahkan orang rantai (orang hukuman yang dirantai kakinya) untuk mengangkut mayat serdadu Belanda dengan pedati ke Bukit Tinggi. Menurut keterangan penduduk lebih dari 18 pedati tolak, penuh dengan mayat yang ditarik oleh orang-orang rantai di pagi-pagi buta sebelum orang-orang berduyun ke Kampuang Tangah.
Dari laporan Westeanenk kepada Gubernur Jendral, hanya 160 orang pasukan Belanda yang meninggal, namun menurt kabar setempat dan taksiran yang dapat dipercaya, pasukan Belanda yang mati melebihi angka 250 orang. Ini tidak mengherankan, selain hanya senjata tajam ditambah jimat-jimat yang begitu laris waktu itu, cara rakyat menyerang (seperti ditulis westenenk dalam laporannya) sama sekali bertentangan dengan teori perang gerilya modern. Mereka menyerang tidak secara kilat di tempat-tempat tak terduga, atau dalam klmpok-kelompok kecil. Sebaliknya, mereka menyerang perlahan-lahan, berbondong-bondong di lapangan terbuka , dan hasilnya adalah pembantaian menyedihkan.
Namun, yang patut kita salut terhadap keberanian membabi buta mereka adalah semangat juang yang tinggi. Kisah pejuang wanita mendapat tempat tersendiri. Siti Anisah yang  berjuang dan ikut gugur, rela meninggalkan anaknya yang masih kecil, kemudian keberanian Siti Asiah menghajar Belanda dalam pertempuran. Walau dirinya masih muda dan catik jelita tapi dia tidak mengenal takut sedikitpun, menyongsong ke tengah pasukan musuh dengan rambut teruari panjang, dan selalu setia mendampingi suaminya yang juga merupakan tokoh pimpinan perang karena tidak sampai hati melepas suaminya berjuang sendiri melawan Belanda. Begitupula kepala laras Kamang, Dt. Palindih. Jarang ada kepala laras terang-tersangan memihak rakyat dengan segala resiko. Dia lebih memperhatikan apa yang terkandung dalam hati sanubari rakyat ketimbang mempertahankan pangkat tinggi terhormat.
~Sehidup Semati~ Kuburan Dt. Rajo Pangulu (Pemimpin perang di Kamang Hilir) dan istrinya Siti Asiah
Selepas perang di Bukittinggi keadaan sungguh mencekam, tentara patroli dimana-mana, siang malam, menanggalkan pakaian dinaspun tak ada waktu. Pasar sepi, lapau tutup,anak-anak takut ke sekolah. Kendaraan umum tidak kelihatan. Pedati-pedati pengangkut bahan makanan tidak datang, gedung-gedung penting pemerintah dijaga ketat. Hubungan kawat Padang-Padang Panjang putus, juga telfon Padang Panjang-batusangkar. Ada juga jalan kereta api yang dirusak.
Suasana takut semakin bertambah sewaktu terdengar kabar lebih kurang 5 Km dari Bukittinggi penduduk siap untuk menyerang kota Bukittinggi sebagai balas dendam atas Kamang. Itu sebabnya jalan ke Bukittinggi ditutup. Rumah-rumah digeledah, tentara mencari pemimpin rakyat yang diduga bersembunyi. Tidak kurang dari 4 brigade terus menerus patroli di Kamang setelah pertempuran. Gubernur memperketat lagi larangan membuat dan dagang senjata tajam, semua bengkel besi dijaga ketat, namun pamflet-pamflet anti pajak, perang sabil dan mati syahid tetap beredar.
Penangkapan-penangkapan pihak yang terlibat terus dilakukan pihak Belanda. Empat orang pimpinan pasukan dibuang dan diasingkan ke daerah lain, termasuk di dalamnya Dt. Palindih (Laras Kamang) dan Kari Mudo, 6 orang dihukum ke Padang, 6 orang dapat meloloskan diri dari tangkapan Belanda, serta terdapat 20 pejuang hidup yang cacat akibat perang.
~~~
Begitulah pendirian orang Kamang saat itu dalam memegang Syari’at dan Adat, berani berjuang di jalan yang benar. Tidak menghambakan diri dan tidak mau tunduk kepada sesama makhluk, tapi hanya mau menundukkan kepala dan patuh kepada Allah SWT. Suatu sikap yang harus  menjadi panutan bagi generasi sekarang.
Keempat patung pahlawan yang setia berdiri di simpang pintu koto juga seolah ingin selalu mengingatkan kepada kita “Contohlah perjuangan kami nak, tiada kami mau tunduk kepada siapapun kecuali Allah, tiada kami takut kepada suatu apapun kecuali Allah, bahkan kematian sekalipun berani kami hadapi”. Sungguh sebuah bentuk keteguhan hati yang sangat luar biasa.