Sang Thothon

Kamis, 24 Oktober 2013

Perang Jenderal: WIRANTO vs PRABOWO

Pencerahan Mengenai Jejak Rekam Prabowo Subianto dalam peristiwa 1998



Jika PS benar bersalah, mengapa korban-korban penculikan seperti Pius L. Lanang & Desmond J. Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?




 

Perang Jenderal



Jauh sebelum peristiwa Mei ’98, proses penghancuran nama baik PS sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara PS & Wiranto. Ketidak-harmonisan PS dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama.

Prabowo Subianto (kita sebut saja sebagai PS) lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau adalah mantan Danjen Kopasus, Pengusaha sukses, Politisi dan calon presiden 2014. PS adalah putera dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI dan juga merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya, tampak bahwa PS memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia, bahkan jauh sebelum republik ini lahir. PS menikahi Titiek, puteri Presiden Soeharto. Keputusan yang tampak prospektif saat itu, namun menjadi blunder dalam hidupnya di kemudian hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual, PS mewarisi kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat cerdas di sekolah maupun di AKABRI. Beliau adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa selulus SMA, PS juga diterima di Harvard University.

Karirnya di bidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karir militer PS termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI. PS bahkan sempat disebut sebagai “The Brightest Star”. Dan dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun. Sebagai sesama orang militer, PS bisa dianggap sebagai “antitesa” dari SBY. Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan, PS cenderung cepat “Take action”. Saat keputusan sudah dibuat, PS akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah mencoreng nama baik & menjadi penyebab kehancuran karir militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah mengungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada PS yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya Wiranto sengaja mengambil manfaat agar “prasangka publik” menghukum PS lebih berat daripada dosanya. Meski PS bersikeras mengatakan tak pernah perintahkan, namun beliau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. Saya ambil alih tanggung jawabnya, begitu kata beliau saat itu. Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan PS.

Jika PS benar bersalah, mengapa korban-korban penculikan seperti Pius L. Lanang & Desmond J. Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?

Meski begitu, kualitas kepemimpinan PS justru sudah teruji di saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, dan selalu terkesan ragu-ragu, tampaknya PS adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah, maka PS adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, PS memilih untuk ambil alih tanggung jawab & menanggung sendiri resikonya.
Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama selamatkan diri saat kapal tenggelam, tapi justru yang terakhir. Sayang, karir militer PS yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan. PS bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998.

Berbicara tentang PS, kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya itu. Dan sebagai pihak yang kalah, PS menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian tersebut. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya. Stigma sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan PS. Jika memang benar PS adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu, maka dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan PS yang karir gemilangnya di dunia militer yang begiitu dicintainya itu harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib. 
Lalu bagaimana jika semua itu tidak benar? Layakkah PS tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas layak pulakah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh putera terbaiknya, hanya karena asumsi belaka?

Untuk dapat menilai PS secara lebih obyektif, maka kami akan bahas kembali secara detail peristiwa yang terjadi di tahun 1998 itu. Kami akan jelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa mei 1998 dari sudut pandang yang berbeda dari pemahaman umum selama ini.
Jauh sebelum peristiwa Mei ’98, proses penghancuran nama baik PS sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara Prabowo & Wiranto. Ketidak-harmonisan PS dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama. Mungkin karena background keduanya yang jauh berbeda. PS yang kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka sementara Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup. Namun PS yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa & tidak dijadikan personal. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat ‘Jawa Tradisional’ itu, dia lebih mirip dengan Soeharto dalam menyikapi suatu rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang mengganggu karir militernya di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di penjara.

Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya beliau sebagai Pangab dalam acara serah terima Pangkostrad Letjend. Soegiono kepada PS. Begitu juga saat pemberhentian secara hormat PS sebagai perwira militer, beliau mencopot tanda-tanda pangkat PS dengan satu tangan saja. Proses berakhir secara paksanya karir militer PS memang tidak bisa dilepaskan dari rivalitas perwira muda dan perwira tua. PS sebagai representasi perwira muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi PS saat itu benar-benar terjepit. Di satu sisi, dia adalah menantu penguasa yang sedang menjadi sasaran sentimen negatif rakyat. Di sisi lain, akibat manuver Wiranto cs, Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya (yaitu Habibie), beliau menyampaikan pesan khusus untuk “mengamankan” PS.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Semua tidak terlepas dari peristiwa Mei yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini masih menghantui republik ini.
Sesungguhnya ada 3 tuduhan utama yang diarahkan kepada PS:
  1. Penculikan aktivis,
  2. Penembakan mahasiswa Trisakti, dan
  3. Dalang kerusuhan Mei 1998.
Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya PS bersalah, bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai Panglima, beliau yang seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini PS tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP sehingga tidak bisa membela diri? Mengenai penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying time’ dengan tidak mengusut kasus ini secara cepat?
Akibatnya, tuduhan kembali ke PS yang jadi bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang di balik penembakan itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini, namun fitnah sudah mencapai sasaran, dan sekali lagi PS terlanjur menjadi pesakitannya. Tuduhan mengarahkan Prabowo di balik penembakan, dengan konspirasi anggota kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku penembakan snipper. Teori konspirasi ini tak pernah terbukti karena peluru snipper diatas 7 mm & proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara random. Kalau snipper akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan.
Lima hari setelah insiden Trisakti, PS datang ke rumah Herry Hartanto. Di bawah Al Qur’an dia bersumpah. Di depan Syahrir Mulyo Utomo orang tua korban; Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa.

Perihal keterlibatan PS atas penembakan mahasiswa Trisakti, tanggal 14 terjadi pertemuan di Makostrad atas inisiatif Setiawan Djodi. Pertemuan antara PS & tokoh masyarakat antara lain; Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto (sekarang pimpinan KPK). Dalam pertemuan itu PS ditanya tentang keterlibatannya, dia menjawab: Demi Allah saya tidak terlibat, saya di set-up. Menurut Buyung terlihat jujur.

Peristiwa selanjutnya semakin memperkuat ketidakterlibatan PS atas peristiwa penembakan mahasiswa tersebut. Dan Puspom ABRI Sjamsu Djalal menghadapi kesulitan memaksa Kapolri Dibyo Widodo untuk menyerahkan anggotanya yang dicurigai terlibat. Di sinilah peran Wiranto terlihat. 17 hari setelah insiden itu berlalu, barulah Wiranto memanggil Dibyo dan memerintahkan untuk serahkan anggota. Itu pun anggota diserahkan ke Polda, bukan ke POM ABRI, padahal Polri saat itu masih menjadi bagian ABRI dan Pangabnya adalah Wiranto. Sementara senjata sebagai barang bukti baru diserahkan tgl 19 Juni 98, hampir satu bulan sejak peristiwa terjadi. Lalu pada tahun 2000, uji balistik di Belfast, Irlandia membuktikan bahwa peluru berasal dari anggota Polri unit Gegana.
Siapa sesungguhnya di balik peristiwa itu? Siapa yang memberi perintah? Jelas bukan PS yang sebagai Pangkostrad tidak punya jalur komando ke Polri. Bagaimana dengan tuduhan PS sebagai otak di balik kerusuhan Mei ’98? Benarkah dia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut? Atau kembali lagi beliau dikorbankan akibat proses perebutan kekuasaan terselubung di antara para elit militer saat itu? Apakah benar kerusuhan tersebut terjadi karena spontanitas atau ‘crime by omission’ (kejahatan karena pembiaran) atau bahkan ‘terror by design’?
Mari kita kembali ke jaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh ‘mesin waktu’. Kita juga membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup bahkan sedang berkuasa. Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran SBY dalam proses pergantian kekuasaan saat itu, padahal beliau juga cukup berperan. Nanti akan kita bahas.
Kembali ke bulan Mei ’98, sebagaimana menjadi kepercayaan umum bahwa penembakan mahasiswa Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkahkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei ’98 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.


Satu peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Wiranto pada peristiwa tersebut adalah kepergiannya ke Malang saat Ibukota sedang genting-gentingnya. Sebab Wiranto sudah tahu akan ada kerusuhan di Ibukota, tapi tetap bersikukuh untuk pergi ke Malang. Acara di Malang adalah serah terima PPRC dari Divisi I ke Divisi II, di mana Wiranto menjadi Inspektur upacaranya. Sebenarnya itu adalah acara rutin yang bisa diwakilkan. Bayangkan, untuk serah terima Pangkostrad saja dia bisa berhalangan hadir. Bagaimana mungkin dalam kondisi Ibukota genting, dia sebagai pemegang kunci komando lebih memilih jadi Inspektur upacara acara seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa diterima akal sehat!

Apalagi mengingat tanggal 13 Mei malam Wiranto memimpin rapat Garnisun Jakarta untuk menanyakan situasi terakhir. Lebih mencurigakan lagi bahwa sesungguhnya Kasum TNI Fahrur Razi saat itu sudah ditunjuk Pangkostrad PS menjadi Inspektur upacara di Malang. Tetapi sekonyong-konyong diambil alih oleh Wiranto. Suatu kebetulan atau kesengajaan?
Mungkinkah Wiranto sebagai Pangab tidak tahu menahu kondisi Jakarta? Dalam kondisi Ibukota terjadi kerusuhan, Wiranto malah pergi ke Malang dengan mengajak komandan-komandan seperti Danjen kopasus, komandan Marinir, dan lain-lain.

Lebih mencurigakan lagi, sesungguhnya PS sudah berulang kali menghubungi Wiranto untuk membatalkan kepergiannya. Wiranto menjawab “Show must goon”. Ini mirip dengan Soeharto saat tahu akan gerakan 30 September, namun sengaja tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya. Sebelumnya, saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998, Panglima TNI Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad PS kemudian membantu pengamanan Ibukota.

Pangkostrad PS kemudian membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar dan Malang untuk bantu Kodam. Tapi sekali lagi Wiranto tidak mau memberi bantuan pesawat hercules sehingga PS mencarter sendiri pesawat garuda dan mandala. Seharusnya jika negara dalam keadaan genting seperti itu, Panglima wajib mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tapi yang terjadi justru tidak terlihat sedikitpun itikad baik Wiranto untuk mencegah terjadinya chaos yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut. Anehnya justru belakangan kubu Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada PS yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu.
Bukankah Wiranto sudah menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei untuk menanyakan situasi terakhir?
Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai ketua Badan Intelijen ABRI tidak pernah mengingatkan Wiranto akan ada kerusuhan?
Bukankah PS sendiri sudah mengingatkan Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang?
Mengapa Wiranto tidak bergeming?
Lantas apa sebenarnya tujuan Wiranto membentuk Pam Swakarsa?
Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Namun belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut kerusuhan Mei tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei terjadi, mantan Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Wiranto untuk membentuk Pam Swakarsa.
Mengapa Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules PS sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa saat PS mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan ‘sistematis’ toko-toko, justru Panglima TNI melalui Kasum Fahrur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tak kunjung datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi dibumihanguskan!


Bukti lain semakin mengarah kepada Wiranto sebagai dalang sesungguhnya dari kerusuhan Mei ’98 dari pengakuan mantan Ka Puspom ABRI Sjamsu Djalal. Melihat kondisi Ibukota yang makin tidak terkendali, beliau menyarankan untuk memberlakukan jam malam, namun Wiranto tidak bergeming. Artinya ada lebih dari satu orang yang memberi peringatan kepada Wiranto saat itu, Jadi keputusannya berangkat ke Malang adalah bagian dari ‘rencana’. Makin terkuak di sini bahwa PS yang justru berupaya mengamankan situasi malah dijadikan kambing hitam sebagai pelaku kudeta.

Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei itu murni spontanitas warga atau karena rekayasa dalam kaitan perebutan kekuasaan saat itu?
Mengenai pembentukan Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi testimoni bahwa itu adalah bentukan Wiranto, dia yang ditugasi. Perintah pembentukan Pam Swakarsa diberikan oleh Wiranto. Dia memanggil Kivlan Zein untuk meminta dana dari Setiawan Djodi. Pertemuan ini diatur oleh Jimmly Asshidiqie. Dalam pertemuan tersebut, Wiranto mengatakan ini perintah Habibie. Jimmly akrab dengan Habibie dalam ICMI.

Kerusuhan yang terjadi karena spontanitas biasanya meluas dengan menjalar, tidak serempak dimulai di seluruh penjuru kota dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima akal sehat adalah bahwa kerusuhan itu terjadi ‘by design’ dimulai berdasarkan komando pihak-pihak tertentu.
Mengapa pada pagi hari tanggal 14 Mei ada pasukan dari Solo diterbangkan ke Jakarta dan mendarat di Halim?
Di saat yang sama, kerusuhan terjadi bersamaan antara Jakarta dan Solo. Semua terjadi pada pagi hari di waktu yang persis bersamaan, tidak ada jeda. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa kerusuhan di kedua kota ini sudah direncanakan matang sebelumnya dan di bawah komando yang sama. Di saat massa mulai menjarah di Jakarta, di saat yang sama kejadian serupa terjadi di Solo. Modusnya sama persis!
Jika kerusuhan itu spontanitas, mengapa dimulai secara serempak di berbagai penjuru Jakarta sekaligus Solo?
Di salah satu pertokoan, ada kesaksian seorang ibu yang mencari anaknya yang ikut masuk ke Jogja Plaza karena disuruh seseorang. Tapi dilantai 2 ditampar & disuruh keluar dan akhirnya keluar sebelum pintu ditutup dari luar? Kita tahu akhirnya Jogja Plaza dibakar.
Siapakah mereka itu?
Mungkinkah mahasiswa atau penduduk urban sengaja memasukkan massa ke dalam gedung lalu membakarnya dari luar?
Atau ada pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi chaos yang memungkinkan pihak-pihak tertentu ambil peranan?

Sebagaimana yang kita ketahui selanjutnya, kondisi chaos itu sendiri akhirnya mempercepat proses jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan.
Lalu siapakah yang diuntungkan dari jatuhnya Soeharto? Apakah Wiranto cs atau PS? Yang jelas sesaat setelah lengsernya Soeharto, Wiranto sebagai Pangab dengan mudahnya menghancurkan karir militer PS.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada aktivis mahasiswa 98’, kami harus sampaikan bahwa sesungguhnya kejatuhan Soeharto bukan karena demo. Tetapi lebih karena pengkhianatan para elit, baik sipil maupun militer yang mana mereka sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto sendiri. Peristiwa jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya itu sendiri lebih tepat dikatakan hasil dari sebuah kudeta halus (soft coup), yang memanfaatkam demonstrasi mahasiswa yang merebak di mana-mana sebagai ‘trigger’nya.

Rupanya dalam suasana genting jatuhnya kekuasan Soeharto itu diwarnai pula oleh rivalitas yang muncul ke permukaan di antara para perwira ABRI. Akibat lemahnya kepemimpinan Wiranto sebagai Pangab ditambah suasana yang tidak menentu, masing-masing perwira berusaha cari manfaat atas situasi tersebut. Para perwira berusaha ‘berinvestasi’ pada masa depan masing-masing, setidaknya mengamankan posisi mereka masing-masing. Pada saat itu terlihat jelas di tubuh ABRI sendiri tidak solid di bawah satu komando. Masing-masing punya agenda sendiri-sendiri dan saling curiga satu sama lain.

Salah satu contohnya adalah adanya siaran pers dari Puspen ABRI menjelang berakhirnya kekuasaan Soeharto. Siaran pers yang walau dibantah langsung oleh Wiranto namun turut mempercepat proses lengsernya Soeharto. Di mana salah satu isi dari rilis tersebut adalah dukungan terhadap sikap PBNU yang mendukung Presiden Soeharto lengser keprabon. Sebenarnya itu bukan merupakan rilis resmi ABRI karena tidak pakai kop surat dan tidak ditanda tangani. Menurut Makodongan, siaran pers dukungan terhadap sikap PBNU itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol saat itu, SBY !

Meski tengah malam itu juga Wiranto membangunkan seluruh perwira untuk menarik rilis itu dari seluruh media massa agar tidak diterbitkan. Namun sudah terlanjur beredar & Soeharto yang tahu tentang ini semakin kehilangan perspektif terhadap kondisi lapangan, terutama mengenai dukungan ABRI. Kejadian ini semakin memperburuk hubungan PS dan Wiranto karena dia menganggap Prabowolah yang mengadukan ini ke Presiden.

Tanggal 18 Mei, Harmoko yang selalu menjilat Soeharto akhirnya menjadi Brutus dengan meminta beliau secara arif dan bijaksana untuk mundur. Sikap Harmoko ini cukup mengejutkan mengingat keberadaannya sebagai Ketua DPR/MPR adalah semata-mata untuk mengamankan kekuasaan Soeharto. Sebelumnya dia selalu langganan dipilih sebagai menteri oleh Soeharto. Bisa dikatakan dia memperoleh segala-galanya karena Soeharto. Namun karena desakan mahasiswa & tokoh masyarakat akhirnya dia memilih untuk menyelamatkan diri sendiri. Namun begitu pernyataan pimpinan DPR/MPR itu disambut gegap gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR & masyarakat seluruh Indonesia, tapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama karena pukul 23.00 Wiranto menyampaikan bahwa ABRI menolak pernyataan Harmoko itu.

Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan kekuasaannya, sebenarnya Pak Harto sudah berniat mundur dari jabatannya. Namun dia ingin memastikan pasca mundurnya dia sebagai Presiden tidak ada chaos yang membuka peluang bagi militer untuk berkuasa.

Tanggal 19 Mei, dibuatlah pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, dll minus Amien Rais. Dalam pertemuan tersebut, Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi yang akan menyiapkan pemilu. Sementara itu menjelang rencana Amien Rais yang akan mengumpulkan massa di Monas tanggal 19 Mei, Wiranto adakan rapat di Mabes. Dalam rapat yang dihadiri para perwira tinggi militer itu, kembali muncul perbedaan antara PS dan Wiranto. Dalam rapat itu Wiranto mengatakan bahwa perintah yang dibuat adalah mencegah masuknya pendemo dengan segala cara (at all cost).
PS bertanya berulang-ulang apa maksud perintah itu?
Apakah akan digunakan peluru tajam?
Tidak dijawab dengan jelas oleh Wiranto.
Kivlan Zein menggelar tank dan panser dengan perintah “lindas saja mereka yang memaksa masuk Monas!”. Kivlan Zein meminta PS agar Amien Rais membatalkan rencana demo sejuta umat di Monas. Daripada saya dimusuhi umat Islam, lebih baik saya tangkap Amien Rais, kata Kivlan. Akhirnya Amien Rais batalkan rencana demo di Monas.
Saat menghadapi Habibie PS berkata,
Pak, Bapak sepuh mungkin akan lengser. Siapkah anda menggantikannya?
Selanjutnya PS meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo merasa tidak punya masalah dengan Habibie. Dan jika kita baca ulang berita-berita media jauh sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab. Berulang kali PS menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu juga sebaliknya.
PS yang berhasil meredakan situasi merasa akan dapat pujian. Maka datanglah ia ke Cendana. Tapi lacur, di situ sudah ada kelompok Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Soeharto dan putera-puterinya. Rupanya di situ Wiranto ‘mengadukan’ tentang manuver PS yang mengindikasikan dia runtang runtung dengan Habibie dan para aktivis. Saat dia tiba, Mamiek langsung menghardik PS dengan kasar sambil mengacungkan telunjuk hanya satu inci dari hidung muka PS sambil berkata: Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!. PS keluar menunggu sambil bilang, Saya butuh penjelasan. Titiek istrinya hanya bisa menangis, lalu dia pulang.
Saat itu sesungguhnya PS sudah dikalahkan, kalah oleh lobby dan pendekatan Wiranto yang meyakinkan. Dalam kondisi gamang seperti itu memang Soeharto sangat rentan menerima informasi yang dipelintir. Hal yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari dirinya.
Sementara itu Habibie yang merasa terancam dengan rencana pembentukan Kabinet Reformasi mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 menteri Ekuin di bawah Ginandjar Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi bagian dari Kabinet Reformasi. Soeharto merasa benar-benar terpukul atas kejadian terakhir ini karena merasa ditinggalkan. Apalagi di antara mereka ada yang dianggap sebagai orang-orang yang dia ‘selamatkan’. Malam itu Soeharto terlihat gugup & bimbang. Suatu kejadian langka. Namun di saat-saat penuh kekecewaan itu, hadir sahabat-sahabat sejati yang menunjukkan kesetiaannya. Malam itu hadir di cendana para mantan wapres menyampaikan dukungannya, yaitu: Umar Wirahadikusuma, Sudharmono, Try Sutrisno.
Pukul 23.00 Soeharto memanggil PS, Saadilah Mursyid dan Wiranto. Beliau menyampaikan bahwa besok akan serahkan kekuasaan pada Habibie. Esok paginya, Harmoko, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, Ismail Hasan Metareum menemui Soeharto di ruang Jepara.
Ada dokumen lain lagi?
Tidak Pak”, jawab Harmoko.
Baik kalian tunggu saja di sini, saya akan laksanakan pasal 8 UUD 45.
Di Credential Room Soeharto bertemu Habibie tapi dia melengos. Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Habibie & kembali ke ruang Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata,
Saya sudah bukan Presiden lagi.
Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo.

Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang ajalnya pun, Habibie dilarang menemui Soeharto. Hubungan Soeharto & Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal, Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya, Soeharto tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan & rasa sayangnya terhadap Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. bagaimana demi kedudukan, hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan
Pukul 23 malam PS dan Muhdi bertemu dengan Habibie di kediamannya untuk memberi dukungan pada Presiden baru. Namun keesokannya pada tanggal 22 Mei, selesai Shalat Jumat PS mendapat kabar mengejutkan, bagai petir di siang bolong. PS di Makostrad ditelpon oleh Mabes AD, diminta menanggalkan benderanya. Perintah itu tak lain artinya bahwa jabatannya dicopot. PS ingat perkataan Habibie jauh sebelumnya,
Prabowo, kapan pun kamu ragu temui saya, jangan pikirkan protokoler!
Maka PS menemui Habibie yang sudah menjadi Presiden dan berkata:
Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya.
Habibie menjelaskan kalau dia mendapatkan laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, kuningan dan istana. PS minta setidaknya 3 bulan di Kostrad. Habibie menolak,
Tidak, sampai matahari terbenam Anda harus menyerahkan semua pasukan!
Dari sini kembali terlihat, untuk kedua kalinya PS dikalahkan oleh lobby & pendekatan Wiranto. Kelak, Wiranto sendiri mengakui bahwa ada kemungkinan informasi yang diberikan diterima secara salah oleh Habibie. Namun kesalahpahaman apapun itu, PS sudah terlanjur menjadi pihak yang dirugikan. Hancurnya karir militer yang begitu gilang gemilang. Kita tidak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie sama-sama salah mengartikan informasi yang disampaikan Wiranto. Atau memang ada kesengajaan melakukan misinformasi terhadap PS mengingat persaingan internal ABRI saat itu.
Semoga menambah wawasan & jadi pelajaran bagi kita semua.
Semoga bisa cukup menyadarkan kita untuk tidak terlalu mudah percaya pada pandangan umum & selalu bersikap kritis | END
Sumber:
https://www.facebook.com/groups/bang.ardhi.for.president2014/doc/510216585696383/
http://mugiyonobk.multiply.com/reviews/item/13
http://mugiyonobk.multiply.com/reviews/item/4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar